Santa Mars

Laki-laki, 18 tahun

Malang, Indonesia

Banggalah pada dirimu sendiri, Meski ada yang tak Menyukai. Kadang mereka membenci karena Mereka tak mampu menjadi seperti dirimu.
::
Start
Windows 8 SM Versi 3
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Saturday, September 15, 2012

"Teringat Peristiwa itu, 27 Mei 2006"

"Teringat Peristiwa itu, 27 Mei 2006"

Semburat sinar matahari senja mulai nampak di ufuk barat. Deretan pedagang dipinggir jalan ramai menjajakan dagangannya sore itu. Pedagang es cendol dan es kelapa muda mendominasi di setiap tepi jalan imogiri, jalan yang setiap hari di lewati oleh fariz setiap berangkat dan pulang kerja. Fariz adalah seorang mahasiswa jurusan Manajemen Informatika di STMIK El Rahma Yogyakarta, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Libur panjang selama tiga bulan dari kampusnya ia manfaatkan untuk bekerja, sekedar untuk jajan atau membantu kakak dan orang tuanya membayar biaya kuliahnya. Maklum, dalam keluarganya hanya kakak perempuan dan ibunya yang bekerja. Ibunya seorang buruh bangunan, ayahnya tidak punya keahlian apa-apa, sehingga terpaksa menjadi petani di sawah. untung kakek fariz, (bapak dari ayah fariz) mewariskan sawah yang bisa di garap oleh ayah fariz. Madinah, adik perempuan fariz masih sekolah kelas tiga smk di SMK 2 Sewon, sedangkan Zahra kakak perempuannya bekerja sebagai karyawati di pabrik garmen di daerah sorosutan Jogjakarta.

Fariz merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarga ibu salamah, ia bangga dengan kedua orang tuanya. Fariz tidak pernah malu dengan pekerjaan orang tuanya, walaupun pekerjaan orang tua teman-temannya lebih menjajikan dari pada pekerjaan ayah ibunya. Bagi fariz, pekerjaan hanya lah sebuah profesi, pada dasarnya manusia itu sama di hadapan Allah, hanya iman dan taqwa yang menjadi pembeda. Selama ini, Zahra kakak perempuannya lah yang menjadi harapan fariz membiayai kuliahnya, gaji ibunya yang pas-pasan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Sedangkan ayahnya tidak bisa diperhitungkan berapa penghasilannya sebagai petani. Di bulan puasa seperti ini memang menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang yang entah itu pedagang dadakan atau memang asli seorang pedagang yang setiap hari bekerja sebagai pedagang. Yang jelas, di setiap bulan puasa jalan imogiri selalu ramai oleh pedagang yang menjajakan aneka menu makanan untuk berbuka puasa.

Sabtu sore itu Fariz masih berada di tempat kerjanya. tidak seperti hari-hari biasa, hari sabtu fariz memang kerja lebih lama di banding hari-hari yang lain. selain hari sabtu fariz sudah sampai rumah jam 4 sore, Menyiapkan menu buka puasa atau pergi ke masjid di kampungnya untuk pengajian menjelang buka puasa.

Mau pulang jam berapa riz?“ Suara seorang wanita membuyarkan konsentrasinya, entah sejak kapan Zahra, kakak perempuan fariz berdiri di hadapannya. Fariz yang sejak tadi sibuk menghitung pendapatan warnet sore itu tidak sadar dengan kehadiran kakaknya yang sudah datang menjemputnya. “Bentar lagi mbak, nunggu bosnya datang.” Fariz menjawab dengan nada pelan.
Zahra, kakak fariz sudah pulang kerja sejak jam tiga tadi. Zahra duduk dikursi tunggu yang berada tepat di sebelah fariz, dua meter dari meja kerja fariz. sambil membaca majalah, Zahra dengan sabar menuggu adik laki-lakinya itu pulang. Tak lama kemudian, seorang laki-laki setengah baya datang dengan tas cangklong merahnya. “Sudah lama mbak nunggu fariz?Pak Risdi, boz fariz akhirnya datang juga. “Ee..lumayan pak”, Zahra yang saat itu sedang asik membaca majalah tidak menyadari kedatangan pak risdi. “Sudah datang pak?” Fariz menyapa pak risdi dengan sopan. “Iya riz, tadi dari kantor langsung kesini. Gimana hari ini riz? Ramai?”. Seperti biasa pak risdi menanyakan pendapatan warnet dalam sehari. “Alhamdulillah pak, lumayan. Kalau begitu saya pulang dulu ya pak, kasihan mbak Zahra sudah menuggu dari tadi.” Fariz pamit izin pulang tanpa mengucapkan salam, karena pak risdi adalah orang nasrani. Dari pelajaran agama yang ia dapat saat di MTs dulu, fariz tahu kalau orang muslim tidak boleh mengucapkan salam kepada orang nasrani. Tapi walaupun begitu fariz tetap menghormati pak risdi, karena bagaimana pun juga sesama manusia harus saling menghormati, Islam mengajarkan untuk selalu berbuat baik kepada setaiap mahkluk Allah.

Zahra yang sedari tadi menunggu fariz pulang, tersenyum lega mendengar adiknya berpamitan. Fariz dan Zahra akhirnya pulang juga. Mereka sudah tidak sabar sampai dirumah, menyiapkan menu makanan untuk berbuka puasa. Dengan langkah gontai fariz turun dari sepada motor setelah sampai dirumah, menyandarkan sepeda motornya di teras rumah. Badannya yang lengket setelah seharian bekerja membuat geraknya tidak nyaman. Waktu berbuka tinggal setengah jam lagi, Zahra sibuk lalu lalang menyiapkan aneka menu buka puasa termasuk es cendol yang ia beli bersama fariz saat diperjalanan pulang tadi. Sedangkan fariz langsung menuju kamar mandi, badannya yang lengket ia guyur dengan air dari bak mandi yang sudah penuh terisi air. “ bu, sabun nya dimana?” fariz yang terlanjur basah tidak menemukan sabun mandi di kamar mandinya, terpaksa ia bertanya pada ibunya yang sedang memasak didapur tak jauh dari kamar mandi tempat fariz mandi. Ibu fariz, ibu salamah yang mendengar suara fariz langsung mngambilkan sabun yang ia beli tadi siang di warung sebelah, warung budhe siti. Lewat lubang kecil diatas pintu kamar mandi, ibu salamah menyerahkan sabun itu pada fariz. “ trimakasih bu”, fariz menyeletuk lega di dalam kamar mandi. “makannya riz, sebelum mandi di cek dulu perlengkapan mandinya, jadi tidak kebingungan lagi kaya gini”. Ibu salamah menasehati dengan halus. “iya bu maaf, tadi badan fariz keburu lengket. Makannya fariz buru-buru mandi. Gak sempet liat sana-sini” jelas fariz sambil menggosokkan sabun mandi di bandannya, berharap ibunya memakluminya. “ya sudah, buruan mandi nya. Sebentar lagi buka”. “Siap bu!” jawab fariz yang sudah tidak sabar buru-buru ingin berbuka puasa. Setelah rapi, semua berkumpul di depan televisi di ruang depan, untuk bersiap buka puasa. Maklum, dirumah keluarga ibu salamah tidak ada meja makan, mereka biasa makan di mana saja yang penting sopan dan nyaman. “loh madinah kemana bu?” Tanya fariz yang tidak menemukan adik perempuannya sejak ia pulang kerja tadi. “loh, setiap sore kan adikmu pengjian di masjid”. “oh iya ya, lupa” fariz nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Memang begitulah fariz kalau sedang malu atau bingung. Adzan maghrib berkumandang. Tanda berbuka puasa sudah tiba. Tangan fariz langsung menyambar gelas yang berisi es cendol yang sudah di siapkan dari tadi oleh Zahra. “Alhamdulillah…” segarnya es cendol mengaliri korongkongan fariz, terasa segar tak tertandingi. Suasana berbuka sore itu berlangsung nikmat. “Idih fariz, minumnya kaya orang abis nyangkul” bibir Zahra maju setengah centi, nyeletuk menggoda fariz. Zahra memang hobi menggoda fariz. Fariz yang sedang menikmati es cendolnya tidak memperdulikan celetukan Zahra. Fikirannya terfokus pada es cendol dan makanan di hadapannya. Satu persatu piring bekas berbuka puasa di bawa ke dapur oleh ibu salamah untuk dicuci. Selesai berbuka, semuanya melaksanakan kewajiban sebagai muslim, Zahra yang sudah siap dengan mukenanya sudah berdiri di tempat pesholatan menunggu faris dan ibunya untuk melaksanakan solat magrib berjama’ah. Mereka shalat berjamaah kecuali ayah fariz, bapak budi. Ayah fariz sekarang memang tidak pernah melaksanakan kewajiban sebagi seorang muslim, boro boro sholat, puasa saja dia masih bolong-bolong. Ibu salamah sudah berkali kali mengingatkannya. Tidak terkecuali fariz dan Zahra. Namun tak kunjung ada perubahan. Madinah cenderung diam melihat sikap ayahnya yang seperti itu, dia tidak punya keberanian yang lebih untuk mengingatkan ayahnya agar sholat seperti yang lain. Toh kalaupun madinah mengingatkan ayahnya juga percuma. Nasehat Ibu dan kakak-kakanya saja tidak mempan, apalagi dia yang usianya paling kecil sendiri di keluarga itu. Setelah sholat, mereka berkumpul di depan televisi untuk sekedar melihat berita. ”assalamualaikum…”, sambil membuka pintu, madinah mengucapkan salam, ia pulang dari masjid seusai melaksanakan sholat magrib. “waalaikumsalam” tanpa aba-aba semuanya menjawab salam, termasuk ayah fariz yang dari tadi masih setia didepan televisi.

Semuanya berkumpul di depan televisi, melihat berita sambil menunggu azdan isya berkumandang. “Tadi pulang jam berapa mas?” Madinah bertanya pada fariz mencoba menghangatkan suasana. “Jam lima din. Eh gimana tadi, masjid ramai gak?” fariz balik bertanya. “Lumaayn mas, semua pemuda dan pemudi datang semua, Cuma mas fariz sama mbak Zahra aja yang tidak kelihatan” madinah menjawab seraya menjelaskan, mukanya sedikit muram menunjukkan rasa kecewa kepada kedua kakanya yang tidak hadir di pengjian menjelang buka puasa di masjid sore itu. “kamu kan tahu sendiri din, kalau hari sabtu mas emang pulang agak telat” jelas fariz melakukan pembelaan. “Iya din, mbak juga tadi jemput fariz, jadinya ya mbak juga gak berangkat pengajian” Zahra yang mendengar namanya dibawa-bawa tiba-tiba menyeringai menyambung dialog fariz, ikut-ikutan melakukan pembelaan seperti fariz. berharap adik paling bungsunya itu memaklumi kedua kakaknya. Suasana pun larut dalam kehangatan. Sampai saat….goncangan itu datang. “Allahuakbar..Allahuakbar..Allahuakbar…” semuanya berteriak mengucap takbir, semua orang berhamburan keluar rumah. termasuk fariz sekeluarga. Cukup keras gempa malam itu. Kaki fariz masih bergetar hebat ketika gempa bumi sudah berhenti. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Fariz terduduk di depan rumahnya sembari mengucap syukur yang tak henti-hentinya keluar dari mulut fariz. “Alhamdulillah, trimakasih ya Allah engkau masih memberikan kami kesempatan untuk memperbaiki sikap kami, Kau tak menghancurkan jasad kami dengan timpaan bongkahan batu bata dan semen dari rumah-rumah kami. Trimakasih ya Allah, kau tak meluluhlantahkan tempat tinggal kami seperti empat tahun yang lalu.” Fariz teringat peristiwa empat tahun yang lalu, peristiwa dimana bumi bergoncang hebat mengancurkan rumah-rumah rata dengan tanah, mematikan ribuan jasad-jasad manusia dengan sekejab mata. Subhanallah, sungguh besar kekuasaan Allah. Tiada yang mampu menolak apa yang menjadi kehendak Allah.


'Kota Pelajar, Ramdhan 2010'
      ~ A. Yunan ~ 

0 comments: